Editorial
Oleh: Rudi Syahwani
Pemimpin Redaksi
Intuisi tetiba saya bereaksi, usai membaca sebuah siaran pers dari Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung RI. Sebuah narasi tentang perkara korupsi dalam sebuah sudut pandang, dengan ekses nya yang universal.
Kejaksaan Agung RI yang dipimpin Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin memang menjadi centre of interest sejak beberapa bulan terakhir. Pasca booming nya dugaan skandal korupsi tata kelola komoditi Timah di IUP PT, seiring asumsi kerugian negara yang mencapai Rp 271 triliyun.
Persepsi dan pemahaman publik yang terbelah menjadi anomali, pro dan kontra hingga salah paham soal angka Rp 271 triliyun. Ditambah lagi masuknya sosok duo kaum ‘kaum the have’ tanah air yakni Harvey Moeis dan Helena Lim, yang ikut menciptakan dinamika di jagad medsos.
Seorang ST. Burhanudin sepertinya mencermati fenomena ini dan memberikan pencerahan, bahwa masyarakat Indonesia yang sadar hukum harus paham bahwa segala bentuk pelanggaran hukum tentunya memiliki konsekwensi. Tak hanya terhadap pelaku tindak pidana, namun juga bagi sosial dan lingkungan.
Khususnya terhadap kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang bernama korupsi. Konsekwensi bahkan dampak yang bersifat luas atau universal. Bahwa kerugian yang harus diperhitungkan dalam sebuah tindak pidana korupsi juga berupa dampak lingkungan atau ekologi.
Angka kerugian negara Rp 271 triliyun dalam perkara korupsi tata kelola komoditi Timah di IUP PT Timah, mungkin merupakan angka paling fantastis dari sederet perkara korupsi yang pernah digarap oleh Kejaksaan Agung RI semasa jabatan ST. Burhanuddin. Skandal TINS Gate seolah yang paling fantastis. Namun secara utuh, nilai kerugian secara keuangan negara tak sama dengan deretan perkara lainnya.
Dalam perkara Tipikor tata kelola komoditi Timah di IUP PT Timah selama tahun 2015-2022, korps Adhiyaksa mencoba membuka mata bahwa, ada potensi kerugian negara (bukan berupa uang) yang harus diketahui rakyat, sebagai dari Tipikor ini. Artinya tak hanya sebatas kerugian keuangan negara yang harus diperhitungkan. Bahwa kerugian negara dari segi aset lingkungan, justru dapat berdampak secara universal, bahkan mengarah kepada bencana lingkungan hidup.
Jaksa Agung ST Burhanudin, dalam keterangan pers nya Kejagung mencoba memberi oase bahwa memerangi atau memberantas memusuhi bahkan hanya sekedar membenci perbuatan koruptif sudah merupakan bentuk amar ma’ruf nahi munkar, karena nya dilabeli sebagai extraordinary crime yang harus menjadi public enemy. Mengingat akibat kerugian yang ditimbulkan tak hanya sebatas uang semata, meski uang bisa menjadi salah satu skala ukurnya.
Bukan malah, mengecam penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan sebagai pemicu ekonomi menjadi merosot, rakyat sulit bekerja, hingga menuntut solusi dari kejaksaan. Ini lah fenomena forum diskusi yang absurd, ketika menyalahkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dengan menilai sebagai sebuah ke-mudhoratan. Sementara di sisi lain mereka sibuk teriak soal pemberantasan korupsi.
Saya analogikan seperti penonton dan pembalap liar yang mengutuk Polantas karena melakukan razia penertiban. Sehingga para pembalap liar dan para penontonnya tak bisa menikmati pertunjukan. Padahal kalau para pembalap tersebut membuat celaka dirinya atau keluarganya, mereka paling getol mencari keadilan ke Polisi. Begitulah gambaran absurdnya.
Menegaskan serta mengingatkan kembali bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang harus dijadikan musuh bersama, tak sekedar sebuah pesan penting sekaligus kata kunci dari keterangan pers yang disampaikan oleh Jaksa Agung ST. Burhanudin, pada H-1 Idul Fitri 1445 H. Intuisi saya tergelitik menganalisa pesan ini, seolah Ramadhan ini adalah Safari Ramadhan terakhir yang dijalankan oleh ST Burhanudin dalam kapasitas sebagai Jaksa Agung.
ST. Burhanudin seolah ingin menyampaikan pesan bahwa, jika Ramadhan ini adalah safari Ramadhan terakhir bagi nya dalam jabatan Kejagung, bahwa publik harus tau, dirinya sudah menunjukkan kesungguhan dalam memerangi korupsi yang sedemikian akut di negeri ini. Namun terkadang berdiri tegak di jalan kebeharan, harus kalah oleh keinginan politik.
Dan saya juga membaca, pesan terakhir yang ingin disampaikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah, konsekwensi dalam urusan kejahatan termasuk korupsi ini, tak hanya memiliki konsekwensi terhadap pelaku atau lingkungan sosialnya. Namun perlu disadari bahwa konsekwensi juga ada pada posisi mereka selaku penegak hukumnya.
“Terkadang, orang-orang besar memberi sinyal lewat pesan tersirat… Yang mana pesan itu diharapkan tertangkap publik, agar publik tau bahwa mereka sedang dalam keadaan tertentu… Entah diserang atau terancam atau tertekan,” Semoga Allah senantiasa bersama dan melindungi para penegak hukum yang kokoh berdiri tegak di jalan yang lurus…
Aamiinn…(**)