Opini  

Jangan Menjadi Hakim Jalanan

Apa itu Pengadilan dan apa fungsi Pengadilan? Tulisan ini saya mulai dari 2 pertanyaan ini, karena ini menjadi bagian penting dari apa yang menjadi pembahasan singkat saya.

Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Tempat di mana sebuah perkara hukum diputuskan terbukti benar atau salah, oleh Hakim yang menjadi pengadil, berdasarkan berbagai pembuktian.

Pertanyaan ini penting untuk kembali mengingatkan kita bahwa dalam sistem hukum formal, kita punya koridor untuk memastikan apakah seseorang yang disangka kan sudah layak disebut bersalah atau tidak

Ini sekaligus sebagai pengingat bahwa kita memiliki Hakim dalam sistem hukum, khususnya di Indonesia yang bertugas memutuskan sebuah sangkaan dalam perkara hukum terbukti benar atau salah.

Sekaligus saya kembali me-refresh bahwa, Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. (rechsstaat)

Pekan ini, jagad maya diviralkan oleh berita, foto dan video soal Walikota Pangkalpinang, yang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemanggilan tersebut terkait klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Sebagai seorang Walikota, selayaknya memenuhi panggilan KPK pada tanggal 17 Mei 2023 kemarin, sebagai bukti ketaatan terhadap hukum. Tak hanya Walikota Pangkalpinang, Wakil Gubernur Lampung, Sekretaris Daerah Jawa Timur pun juga dipanggil hari itu.

Kehebohan di depan Gedung Merah Putih di bilangan Kuningan Jakarta tersebut mengemuka saat Walikota Pangkalpinang keluar usai menjalani klarifikasi, dan memilih untuk tidak memberi komentar apapun kepada para wartawan yang memang menunggu di depan pintu keluar KPK.

Video amatir pun mendadak viral, dalam berbagai moment. Termasuk berita-berita khususnya media daring tanah air. Dari sana opini masyarakat mengemuka, komentar-komentar di berbagai platform digital bermunculan. Seolah Walikota Pangkalpinang usai menjalani proses vonis pengadilan.

Sampai di sana, saya kemudian berinisiatif membuat tulisan ini. Ada pesan moral yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, terkait ucapan yang sering kita dengan “jangan main hakim sendiri.”

Bahwa banyak sekali saya dapati opini yang kemudian berbahasa menghakimi, seolah-olah Walikota Pangkalpinang adalah orang bersalah seperti vonis pengadilan.

Sebagai mantan mahasiswa fakultas hukum, saya ingin mengingatkan kembali kepada kita semua bahwa ada pasal asas praduga tak bersalah diatur dalam KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. Pada KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap,”

Selanjutnya, pasal asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dari sini kita bisa berkaca, bahwa orang yang sudah menjadi tersangka pun masih harus kita gunakan azas praduga tidak bersalah. Karena ada hakim dan sistem peradilan yang punya bagian membuktikan apakah seseorang kemudian layak dituding atau distempel bersalah atau tidak.

Kembali ke permasalahan klarifikasi Walikota Pangkalpinang kepada KPK, sesuatu yang bahkan belum masuk dalam proses hukum tak selayaknya kemudian opini kita memvonis seolah yang dilakukan Walikota tersebut bersalah.

Absurd nya lagi, bahkan ada sebuah lembaga pers yang membuat judul dengan nada memvonis. Dengan menyebut Walikota Cak-cak tuli atau pura-pura tuli. Padahal lembaga pers jelas memiliki koridor Etika, yang salah satunya tidak mencampurkan opini dengan fakta serta tidak beritikaf buruk.

Kalimat pura-pura tuli tersebut hanya Walikota yang bersangkutan yang bisa tau. Butuh pembuktian untuk memastikan bahwa seseorang pura-pura tuli. Jangan sampai orang yang ketiduran nanti divonis pura-pura pingsan.

Urusan Walikota enggan memberi komentar, memilih diam atau bungkam, itu menjadi hak Walikota sebagai nara sumber. Dan Pers selayaknya menghargai hal ini, jika oknum Pers tersebut paham akan kode etiknya. Padahal jelas, Pers sebagai lembaga informasi yang juga fungsi mengedukasi publik. Salah satunya dengan tidak mengajarkan ujaran-ujaran yang memvonis atau menjustifikasi.

Ingat, bahwa ada pengadilan dan di dalamnya ada hakim yang bertugas mengadili seseorang dinyatakan benar atau salah. Jangan kita semua menjadi hakim. Abstraksi “jangan main hakim sendiri,” itu tidak sebatas suasana seorang maling tertangkap warga yang digebuk massa. Akan tetapi bahwa ucapan kita yang bernada memvonis juga merupakan bentuk “main hakim sendiri.”

Mari kita tetap berbaik sangka, jangan mengambil alih tugas Hakim untuk menjustifikasi. Bukan kah kita masih sepakat bahwa hukum adalah Panglima di negara ini. Semoga itu tetap menjadi pandangan hukum kita dalam bernegara. Bahwa semua orang bisa saja tersangkut masalah hukum. Akan tetapi, tetapkan mengedepankan azas praduga tidak bersalah. Wallahu alam bisawab…

Penulis : Choiri Arba a
Mantan Aktivis Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Bangka Belitung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Anda Dilarang Men-copy Isi