Oleh: Ahmadi Sofyan
SETIAP Ramadhan, selalu rutin kelompok, instansi, lembaga, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, awak media dan lain sebagainya mengadakan buka puasa bersama. Tak jarang buka puasa bersama itu diundanglah anak-anak yatim dari salah satu atau berbagai Panti Asuhan, sesuai kemampuan sohibul hajat. Pun demikian dengan isi amplop yang judulnya berbagai sebutan, misalnya “tali asih” “berbagi rezeki” “Santunan” atau jika bulan Ramadhan menjelang lebaran disebut “THR”. Begitulah sosial tinggi yang menjadi tradisi indah kita masyarakat Indonesia. Sangat bersyukur sekali menjadi orang Indonesia yang masih menyaksikan tradisi ini.
Ketika pejabat pemerintahan seperti Kementerian, Kepala Daerah, Kepala Dinas, TNI/POLRI, Lembaga Pemerintahan lainnya bahkan sekelas Presiden RI sekalipun mengundang anak-anak yatim dari salah satu Panti Asuhan atau beberapa Panti Asuhan untuk buka puasa bersama lantas dalam acara tersebut diberikan “THR”, belum pernah saya mendengar ada anak yatim lain yang protes lantas teriak-teriak kepada sohibul hajat dengan bertanya “Anggaran dari mana?” atau “Mengapa kami tidak diundang?” lantas koar-koar dengan kalimat: “Tidak adil, sebab kami yang juga anak yatim, anak panti asuhan, tapi tidak diundang dan tidak dapat THR?”.
Anak-anak Yatim itu tidak hanya mulia dalam bersikap, tapi dewasa dalam pemikiran serta adil dalam memandang rezeki itu dari Tuhan bukan dari manusia. Sebab manusia hanyalah “pipa” atau sekedar saluran saja. Anak-anak Yatim yang mulia dan Panti Asuhan yang tidak hadir dan tidak mendapatkan THR itu adalah manusia-manusia yang memahami bahwa rezeki, jodoh, maut ada ditangan Tuhan. Sedangkan posisi manusia hanyalah penyalur ibarat pipa, bukan penentu dan penggerak hati. Yang menggerakkan hati manusia (dalam perilaku kebaikan) itu adalah Tuhan.
Anak-anak Yatim punya rasa malu, sebab mereka meyakini kalimat: “fain lam tastahyi fa’mal maasyi’ta” (kalau kamu gak punya rasa malu, berbuatlah semaumu). Anak-anak yatim, para penghuni Panti Asuhan adalah orang-orang mulia yang sangat menjaga kemulian dirinya sebagai manusia mandiri tak meributkan hal yang remeh temeh apalagi lembaran uang yang tidak seberapa atau penghormatan diri diundang atau tidak diundang.
Sebab iri dengki adalah penyakit hati, merasa harus dihormati dan meminta mendapat tempat adalah sifat percikan syetan dan merasa berjasa dalam ini dan itu adalah kepicikan. Begitulah yang sering terjadi ditengah kehidupan sosial kita yang merasa dewasa namun berperilaku kekanak-kanakan.
Usia dewasa dengan perilaku kekanak-kanakan adalah penyakit yang nampaknya susah diobati. Ribut THR 50 juta pada awak media karena “ade yang dak kebagi” jadi berita. Asyik juga… tapi jangan sampai hal demikian kadangkala menunjukkan jati diri, siapa kita dan diketahui seberapa jengkal isi kepala kita. Akhirnya THR bukan “Tunjangan Hari Raya”, tapi “Tahunya Hanya Ribut”.
Mari kita belajar kepada Anak-Anak Yatim di Panti Asuhan yang tidak pernah ribut diundang atau tidak, bahkan dapat atau tidak THR dari siapapun. Sebab mereka punya rasa malu dan berhati mulia.
Salam THR!
Pundok Kebun, 13/04/2024
Ahmadi Sofyan, Penulis Buku dan Pemerhati Sosial Budaya. Lebih dari 80-an buku ditulis dan 1.000-an opininya dimuat di media cetak maupun online. Ia banyak habiskan waktunya di Kebun Tepi Sungai di Desa Kemuja. Seringkali disebut oleh orang-orang sebagai Penjilat Pejabat.