Oleh: Ahmadi Sofyan
SEBELUM Nabi Adam as ada di muka bumi, penyakit iri dengki dan hasud ini sudah ada. Penyakit ini pula yang akhirnya berbuah sombong sehingga merubah kealiman menjadi kezhaliman Iblis
“MAKLUMLAH seperadik, penyakit iri dengki dan hasud mungkin penyakit tertua dalam sejarah manusia, bahkan sebelum Nabi Adam as sebelum diturunkan ke dunia. Dalam sejarah manusia ada Habil & Qobil”. Sebuah WA dikirim oleh seorang rekan senior dari salah satu media lokal ke nomor Handphone saya malam itu. Akhirnya saya pun merenung betapa ternyata perilaku iri dengki dan hasud ini terus tumbuh berkembang dalam kehidupan manusia, sebab memang Iblis ingin memiliki pengikut yang sama dengan sifat dirinya. Dari WA sahabat ini, saya tak hanya merenung, tapi juga harus interospeksi diri siapa tahu dalam diri saya masih banyak bahkan berkembang juga sifat laknatullah ini. Tak hanya merenung dan interospeksi diri, saya harus kembali belajar membaca diri, menata hati bagaimana mengapresiasi, menghargai, mensyukuri, mencintai dan memotivasi sesama agar jauh lebih baik dari kita hari ini. Mensyukuri apa yang ada dalam diri kita dan yang sudah kita dapatkan adalah salah satu cara menata hati agar dihindari dari prasangka buruk (suudzhon) yang akhirnya berubah menjadi iri dengki, hasud dan pada titik nadir adalah kesombongan diri (merasa benar, merasa besar, merasa berjasa, merasa terhormat sehingga harus dapat tempat). Bahkan bukan hanya merasa, tapi mencari kebenaran diri dengan cara mencari kesalahan orang lain.
Susah melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran, disebabkan oleh beberapa faktor: (1) kedunguan intelektual (2) perasaan diri lebih baik dan pantas ketimbang orang lain (3) merasa berjasa padahal tanpa disadari orang lain tertawa (4) ketidakmapanan diri (tidak lapang dada) dan (5) agar terlihat kritis dan mencari panggung ditengah kesunyian.
Muaranya adalah qolb (hati) yang dibungkus oleh pemeliharaan penyakit iri dengki dan sehingga bersikap hasud (provokatif).
Sifat iri dengki bisa merenggangkan hubungan antar sahabat bahkan seperadik sekandung. Iri dengki ditambah hasud bisa menebarkan fitnah yang berujung musibah. Bahkan kerapkali pertikaian dan pembunuhan terjadi diawali dari iri dengki dan hasud ini. Begitu berbahayanya sifat iri dengki, perseteruan Habil & Qabil menjadi catatan penting dalam sejarah kehidupan manusia.
Syetan Aku-Aku
DALAM sebuah tausiyah seorang Ulama kesohor era 80-an – 2000-an, Allahuyarham KH. Zainuddin MZ pernah menasehatkan: “Jangan jadi syetan aku-aku atau syetan kami. Apa itu? Menyebut jasa diri, karena aku, karena kami, kalau tidak aku, kalau tidak karena kami……., tapi sekarang aku atau kami tidak dipedulikan. Itulah syetan dan jauhi yang beginian”. Kalau kita punya kepekaan hati, sebenarnya kalimat ini menampar kita semua, saya, kamu, Anda dan kita semua. Tapi bagi yang tertutup hati, maka
dipastikan ayat 18 dari surrah Al-Baqarah ini tepat sekali, “summum bukmum umyum fahum layarjiun”
Sebab dalam kehidupan sosial, seringkali kita merasa bahwa kita-lah yang paling layak, paling bagus, paling hebat, paling pintar, paling tokoh, paling populer, paling pantas dan ornamen-ornamen duniawi lainnya. Kita tidak menyadari bahwa orang yang layak & pantas tidak perlu pengakuan atau mengaku-akukan diri. Orang yang benar-benar bagus tidak perlu pencitraan diri. Orang yang disebut tokoh, tidak perlu berkoar-koar untuk tampil diri, sebab seorang tokoh ada dimana pun akan didatangi bukan mendatangi apalagi “melamar diri” serta menyebut diri adalah tokoh. Orang yang pintar plus cerdas, akan baca situasi dan bergerak dengan strategi, punya prestasi, punya nilai sehingga dibutuhkan dimana pun ia berada.
Seorang seniman dan budayawan yang sesungguhnya tidak butuh lagi pengakuan, tepuk tangan, panggung megah, sorotan kamera, sebab seni dan budaya adalah nilai yang sudah melekat dalam diri. Tepuk tangan, panggung megah dan sorotan kamera hanyalah debu-debu kecil yang menempel di muka sebelum terbilas oleh air.
Tapi ketika kedunguan masih melekat terlalu kokoh, akan sebaliknya. Untuk tampil harus dengan teriak agar didengar, padahal hasil yang didapatkan sebaliknya, orang tutup telinga dan lebih baik merem saja. Untuk menunjukkan prestasi tak harus menghujat sana sini, sikut kanan kiri, injak bawah sundul atas. Untuk naik tidak harus menginjak kepala kawan, kecuali mungkin lagi lomba panjat pinang 17 agustusan. Untuk dikenal tidak harus sensasi, tapi yang paling kokoh adalah prestasi dan nilai diri (intelektualitas, spiritualitas dan integritas). Minta tolong tidak harus menggongong, minta tulang tidak harus melenggang, minta diperhatikan tidak harus mengumbar apa yang telah diperbuatkan. Sebab disinilah orang menilai betapa kita mudah dijengkal oleh orang lain. “Pacak dijengkel” begitu kata orang-orang kampung. “Lom masak nasik e, kerak e lah ko makan” (nasi belum matang, keraknya sudah saya makan). Artinya kita belum ngomong, orang sudah tahu apa yang akan kita omongkan, kita belum berbuat, orang sudah tahu hasilnya bagaimana, kita belum menulis orang sudah selesai membacanya.
Teringat saya pada pesan para pendiri dan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor dan kalimat itu tertulis dalam ukuran besar didinding Pesantren: “Berjasalah tapi Jangan Minta Jasa”. Sejak awal nyantri di Jawa Timur, kami para santri ditafsiri dan dididik dengan kalimat ini, agar nanti setelah jadi alumni tidak gampang koar-koar diri, tapi tunjukin prestasi dan kebermanfaatan. Mau diakui atau tidak, bahkan mau dicaci atau dipuji, bukan urusan kita.
Namun, seriring perjalanan waktu dan perubahan kehidupan sosial yang begitu dahsyat, kita semua, masih begitu rapuh dalam menata hati, sehingga kadangkala kita merasa mutiara, padahal hanyalah serpihan debu tak berharga. Kita merasa Musa, padahal Fir’aun yang ada. Kita merasa Ibrahim, padahal Namrudz sedang merjalela. Kita merasa Muhammad, padahal sebenarnya diri adalah Abu Lahab.
Ditengah kesunyian kebun tepi sungai, sayup terdengar lirik lagu Ungu Band: “Pernahkah kau merasa……..”.
Salam Rasa!!
Kebun Tepi Sungai, 14/04/2024