BABELTERAKTUAL.COM, INDONESIA – Pada era digital saat ini, anak-anak semakin terpapar dengan teknologi dan akses ke dunia digital. Meskipun teknologi memberikan berbagai manfaat, penting bagi kita menciptakan lingkungan digital yang aman bagi anak. Keamanan online masih menjadi perhatian utama, karena konten-konten, dan akses yang tidak sesuai dengan usia yang dapat mengancam seperti kekerasan, pelecehan, intimidasi.
Pendidikan dan kesadaran pendidikan merupakan kunci dalam menciptakan lingkungan digital yang aman bagi anak. Orang tua, pendidik, dan anak-anak sendiri harus diberikan pemahaman tentang risiko online dan praktik pengamanan. Ini termasuk kesadaran tentang privasi online, penggunaan yang bertanggung jawab terhadap teknologi, identifikasi penipuan online, serta pentingnya melaporkan perilaku tidak aman kepada orang dewasa yang dipercaya.
Pengaturan Kontrol Parental
Menggunakan kontrol parental, atau perangkat lunak pengendalian konten dapat membantu orang tua mengatur, dan membatasi akses anak-anak ke konten yang tidak sesuai usia. Pengaturan ini termasuk pembatasan waktu layar, filtering konten, dan pengawasan aktivitas online anak-anak.
Komunikasi Terbuka dan Percakapan
Jalin komunikasi terbuka dengan anak-anak tentang pengalaman dan aktivitas online mereka. Berikan ruang yang aman bagi mereka untuk berbicara tentang apa pun yang mengkhawatirkan mereka, dan tanggapi dengan empati dan pengertian. Jangan takut untuk membahas risiko online, dan memberikan nasihat yang tepat.
Pantauan dan Pengawasan
Lakukan pengawasan aktif terhadap aktivitas online anak-anak, terutama saat mereka masih muda. Berinteraksi dengan mereka secara langsung dan terlibat dalam apa yang mereka lakukan di dunia digital. Ini membantu menjaga mereka tetap aman, dan membuka kesempatan untuk memberikan bimbingan jika diperlukan.
Ajarkan Etika Digital
Berikan anak-anak pemahaman tentang etika digital yang baik. Dorong mereka untuk berperilaku dengan sopan, dan menghormati orang lain dalam interaksi online. Diskusikan tentang pentingnya tidak membully, tidak menyebarkan rumor, dan menghargai privasi orang lain.
Berikut tips mendidik anak di era digital yang bisa dilakukan orang tua:
- Membuat aturan penggunaan gawai atau gadget
- Mengatur batasan screen time
- Dampingi saat anak bermain gadget.
- Pantau aktivitas anak di dunia maya.
- Berkomunikasi dengan anak
- Hindari menjadikan gawai sebagai alat agar anak tidak rewel.
Anak-anak usia sekolah dasar sudah memiliki kecakapan untuk mengoperasikan gawai, dan mengakses internet secara mandiri dan bahkan mungkin tanpa pengawasan dari orang tua. Mereka bisa bermain video games, menonton video, dan terhubung dengan teman dan keluarga melalui komputer, ponsel, tablet, televisi, dan perangkat lain yang terhubung ke internet. Jika tidak diatur dan diawasi, maka ada empat potensi risiko keamanan digital yang siap mengintai anak-anak usia sekolah dasar, yaitu:
- Content Risk: Sebuah situasi di mana anak terpapar konten yang tidak pantas dan tidak diinginkan di dalamnya, termasuk konten seksual dalam game, pornografi, gambar kekejaman terhadap hewan, kekerasan, konten rasis, diskriminatif, ujaran kebencian, dan situs yang menganjurkan perilaku tidak sehat dan berbahaya (bunuh diri, anoreksia dan melukai diri sendiri).
- Contact Risk : Risiko yang muncul saat anak berinteraksi dengan orang yang tidak mereka kenal, atau orang dewasa yang menyamar sebagai anak-anak secara daring, misalnya saja interaksi dengan orang dewasa yang meminta seorang anak untuk tujuan seksual, individu yang mencoba meradikalisasi seorang anak, membujuknya untuk mengambil bagian dalam perilaku yang tidak sehat atau berbahaya, dan membagikan informasi pribadi dengan orang asing.
- Conduct Risk: Perilaku anak-anak di ruang virtual yang mungkin menyakiti orang lain atau menjadi korban dari perilaku orang lain di ruang virtual. Contohnya saja anak-anak yang menulis atau membuat materi kebencian tentang anak-anak lain, menghasut, rasisme, atau memposting atau mendistribusikan gambar seksual, termasuk konten yang mereka buat sendiri.
- Consumer Risk: Risiko yang muncul ketika anak-anak menyetujui kontrak, syarat atau ketentuan yang tidak adil yang tidak mereka sadari atau tidak pahami di ruang virtual. Misalnya, anak-anak mungkin mengklik tombol yang memungkinkan pihak lain mengirimi mereka pesan pemasaran yang tidak pantas, atau mengumpulkan data pribadi atau keluarga mereka. Atau anak-anak mungkin menggunakan mainan, aplikasi, atau perangkat dengan keamanan internet yang lemah, sehingga membuat mereka rentan terhadap pencurian identitas atau penipuan.
Internet akan menjadi bagian dari masa depan anak-anak, sehingga membiasakan mereka menggunakan gawai dan internet dari sekarang dengan bijak adalah hal yang penting dilakukan.
Mengajarkan perilaku online yang aman dan bertanggung jawab dapat membantu anak-anak usia sekolah dasar mengelola risiko dan membangun ketahanan digital (digital resilience), yakni kemampuan untuk menghadapi dan merespons secara positif setiap risiko yang mereka hadapi secara online.
Berikut adalah beberapa tips yang bisa digunakan untuk membangun digital resilience pada anak usia sekolah dasar:
A. Gunakan mesin pencari ramah anak seperti Kiddle, atau penyedia konten seperti YouTube Kids, atau aplikasi pesan seperti Messenger Kids.
B. Periksa apakah permainan, situs web, dan program TV sesuai untuk anak-anak usia sekolah dasar.
C. Batasi fungsi kamera dan video agar anak tidak mengambil foto dirinya sendiri atau orang lain secara tidak sengaja. Anak-anak perlu diberikan pemahaman mengenai jejak digital, pengubahan konten, pembagian konten tanpa izin, dan konsekuensi lainnya dari mengunggah foto, video dan konten pribadi di internet.
D. Blokir aplikasi pembelian dan nonaktifkan pilihan pembayaran di gawai anak. Orang tua dan anak bisa membuat aturan yang jelas mengenai pembelian melalui aplikasi. Jika anak ingin membeli sesuatu lewat aplikasi, maka anak perlu memberitahu orang tua terlebih dahulu.
E. Berselancar di dunia maya bersama anak akan memberikan kesempatan kepada para orang tua untuk melihat aplikasi atau game yang dimainkan, atau video yang mereka tonton. Orang tua juga dapat menunjukkan dan memberikan tanda (bookmark) pada situs yang aman, menyenangkan dan mendidik untuk mereka. Kelebihan dari strategi ini adalah para orang tua bisa menjelaskan secara langsung jika menemukan iklan pop-up saat online bersama anak. Iklan pop-up mungkin saja dapat mengarahkan mereka ke situs dengan gambar yang tidak menyenangkan atau situs yang menginginkan informasi pribadi.
F. Berikan penjelasan kepada anak bahwa internet memiliki beragam konten dan beberapa diantaranya tidak diperuntukkan untuk anak-anak. Berikan penjelasan yang rinci konten dan situs-situs seperti apa yang harus mereka hindari. Hal ini bisa membantu anak-anak untuk mengidentifikasi dan menghindari konten dan situs-situs yang berbahaya.
G. Berikan penjelasan untuk tidak mudah percaya dengan informasi yang tersebar di internet, karena tidak semua informasi adalah benar. Berikan pengertian kepada anak bahwa mereka diperbolehkan bertanya kepada orang tua dan gurunya tentang informasi apa saja yang mereka temukan.
H. Ciptakanlah suasana yang suportif dan terbuka agar anak bisa segera menceritakan pengalaman negatif dan tidak menyenangkan yang mereka alami di ruang virtual.
I. Ajarkan perilaku-perilaku yang pantas dan tidak pantas di runag virtual. Jadilah contoh yang baik (role model) bagi anak-anak dalam menggunakan internet yang aman dan sehat.
J. Imbangi aktivitas online anak dengan aktivitas offline. Tetapkan batasan screen time tidak lebih dari 1-1,5 jam setiap hari. Konsisten untuk menerapkan screen time dan jenis acara yang ditonton. Screen time untuk hiburan tidak mengganggu aktivitas utama anak misalnya belajar, sekolah, tidur, dan kegiatan penting lainnya.
Catatan penting lainnya bagi para orang tua adalah hindari menggunakan aplikasi pemantauan aktivitas online anak secara diam-diam. Hal ini menandakan adanya ketidakpercayaan kepada si anak. Akan lebih baik jika orang tua dan anak berbicara secara terbuka tentang penggunaan internet masing-masing. Seiring bertambahnya usia anak, maka para orang tua perlu meninjau kembali strategi yang digunakan. (Rls)